Peta Jalan Menuju Ke …

JALAN KEBENARAN

Peta Jalan Menuju Kedamaian dan Kesejahteraan Global

Abstrak

Artikel ini bertujuan memberi gambaran dan renungan atas fenomena dan dinamika peradaban umat manusia pada Abad ke-21 sekaligus memberi analisis dan solusi alternatif atas fenomena tersebut.

Dinamika konflik internal bangsa Indonesia pada khususnya dan fenomena global antarbangsa pada umumnya menunjukkan gejolak konstelasi yang mengkhawatirkan keberlanjutan peradaban umat manusia.

Kajian ini berupaya mengurai gambaran situasi kontekstual, akar permasalahan, dan solusi alternatif berlandaskan tradisi atau Sunnatullah yang tertuang di dalam Kitab-kitab Allah sebagaimana diajarkan oleh para Rasul-Nya di sepanjang zaman peradaban manusia dalam menwujudkan sistem hidup dan kehidupan yang damai sejahtera.

Penulisan kajian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif, yaitu memberikan
gambaran menyeluruh tentang suatu masalah yang berkembang dengan suatu gagasan fundamental yang akan dijadikan sebagai solusi komprehensif berlandaskan nilai dan sistem kebenaran universal yang diajarkan oleh para Rasul Allah.

Data-data yang digunakan dalam penulisan adalah fenomena-fenomena konkret sosial manusia dan narasi sejarah dalam Kitab suci.

Metode pengumpulan data dengan cara observasi dan studi kepustakaan dilakukan untuk membaca dan menelaah literatur-literatur yang berhubungan dengan objek permasalahan yang dikemukakan.

Hasil penulisan ini menunjukkan bahwa peradaban umat manusia pada milenium ketiga sedang mengalami krisis multidimensi dalam skala personal, bangsa, dan lintas benua. Faktor dasar penyebab krisis moral dan struktural adalah hilangnya nilai sipiritual pada setiap insan yang lebih mengedepankan intelektual dan hegemoni nafsu menguasai sesama manusia.

Solusi alternatif untuk menyelesaikan konflik global adalah kembali kepada Peta Jalan Kebenaran, yakni protokol Sunnah Rasul dalam menggenapi Sunnatullah. Metodologi yang digunakan adalah dengan cara mencontoh atau meneladan cara hidup para Rasul Allah mulai dari Adam, Nuh, Ibrahim, Musa, Isa, dan Muhammad.

Metode Sunnah Rasul itu menjadi kunci sukses dalam menjalani pergiliran peradaban antara hukum Allah dan hukum bangsa-bangsa, peradaban ilahi dan non-ilahi, peradaban madinah dan jahiliyah.

Itulah Jalan Kebenaran atau misi Para Rasul Allah (prophetic voice and action) dalam mewujudkan kedamaian dan kesejahteraan di muka bumi dalam skala personal, keluarga, komunitas, masyarakat, negarabangsa, regional, dan global.

A. Krisis Multidimensi Bangsa dan Lintas Benua

Dewasa ini dunia sedang dilanda kerusakan alam dan sosial yang dahsyat.
Amerika dan Eropa Barat sedang bergelut dengan resesi ekonomi makro, Afrika dan Eropa Timur berkutat pada konflik perpecahan dan perang saudara, Australia
bertubi-tubi dihantam bencana, dan kebanyakan negara Asia tidak kunjung keluar dari permasalahan khas dunia ketiga.

Peperangan antarbangsa, penindasan negara kuat terhadap negara lemah,
penjajahan dan perbudakan berkedok ekonomi, perebutan hegemoni dan
superioritas antara Barat dan Timur telah memporak-porandakan sistem sosial umat manusia dan menciptakan neraka dunia.

Potret kehidupan neraka itu merupakan manifestasi pertentangan dan perdebatan ideologi, politik, ekonomi, sosial, hukum, dan pertahanan
keamanan lintas benua.

Seorang ilmuwan politik, Samuel P. Huntington (1996), menyatakan teorinya tentang Clash of Civilizations (benturan peradaban) bahwa identitas budaya dan agama seseorang akan menjadi sumber konflik utama di dunia pascaPerang Dingin.

Keterpurukan global itu pun tak luput berimbas kepada kehidupan majemuk
masyarakat Indonesia. Bangsa Nusantara sebagai lintasan strategis dan silang dunia memperoleh dampak signifikan kerusakan atas nama globalisasi dan gelapnya peradaban dunia.

Bangsa Indonesia mengalami dekadensi moral-spiritual yang besar dan menjadikan kehidupan masyarakatnya penuh dengan kezaliman sehingga bangsa ini terpuruk dan mengalami krisis multidimensi.

Akibatnya, Republik ini mengalami keresahan atau nation anxiety yang mengakibatkan kemunduran peradaban dan makin ketinggalan dari bangsa-bangsa lain di dunia.

Indikator lain terpuruknya bangsa ditunjukkan oleh meningkatnya kasus
kriminalitas di Indonesia. Tingginya kasus korupsi di lembaga-lembaga tinggi negara, perkosaan, pembunuhan, tawuran pelajar dan mahasiswa, serta tindakan amoral lainnya memperjelas betapa rendahnya kualitas kehidupan manusia.

Krisis ini merupakan krisis yang dalam dimensi intelektual dan moral spiritual yang sudah mencapai titik nadir.

B. Permasalahan Mendasar

Semua kejadian yang menimpa bangsa ini secara khusus dan dunia pada umumnya, hendaknya disikapi dengan arif dan bijaksana.

Bangsa Indonesia dan umat manusia harus segera melakukan perbaikan tanpa
mempersalahkan sekelompok orang, rezim masa ini ataupun masa lalu.

Seluruh elemen masyarakat bangsa ini sudah seharusnya duduk bersama mengevaluasi diri untuk melihat segala permasalahan dan solusi demi perubahan ke arah yang lebih baik ke depannya.

Analisis atas permasalahan bangsa dapat dilihat dari faktor internal dan ekstenal. Faktor internal dipengaruhi oleh kualitas kemampuan dan kecerdasan manusia Indonesia dalam mengelola dirinya.

Adapun faktor eksternal dipengaruhi oleh gaya hidup individualisme, pragmatisme, sekulerisme, sosialisme, kapitalisme, imperialisme, dan paham-paham lainnya.

Akar permasalahan dari keterpurukan kehidupan bangsa adalah tidak seimbangnya kecerdasan spiritual, emosional, dan intelektual pada setiap diri anak bangsa.

Alih-alih menyeimbangkan ketiga kecerdasan tersebut, kebanyakan manusia bangsa ini lebih mengutamakan kecerdasan intelektual dan emosional sehingga menyebabkan terjadinya kemunduran peradaban.

Penyakit siber, misalnya, yang hanya mengedepankan kemampuan rasional
sehingga menjadikan pikiran manusia modern berubah menjadi pikiran mekanis dan digital.

Hal ini sering disebut Human Intelligence Virus (HIV) yang menimbulkan Acquired
Intelligence Deficiency Syndrome (AIDS).

Inteligensi manusia bisa lenyap karena virus itu, Human Intelligence-nya mati dan
digantikan Artificial Intelligence, Rational Intelligence, atau Digital Intelligence
(Nataatmadja, 2003).

Secara global, hal ini dipengaruhi oleh rendahnya kecerdasan spiritual manusia
modern yang sedang terjangkit penyakit spiritual dengan segala variasinya, seperti spiritual crisis (krisis spiritual) menurut Fritjof Capra, soul pain (penyakit jiwa) menurut Michael Kearney, penyakit eksistensial menurut Carl Gustav Jung,
spiritual emergency (darurat spiritual) menurut Cristina dan Stanislav Grof, patologi spiritual, alienasi spiritual maupun penyakit spiritual (Sukidi, 2002).

Bangsa ini sedang terjangkit “narkoba spiritual” yang mengakibatkan hilangnya jati diri atau karakternya sebagai bangsa yang mengedepankan nilai Ketuhanan Yang Maha Esa.

Berkaca kepada permasalahan kompleks itu, maka umat manusia harus kembali
membangkitkan kecerdasan spiritual dalam dirinya.

Kecerdasan itu berhubungan erat dengan karakter kemanusiaan dan kebangsaan.

Karakter manusia dan bangsa Indonesia harus dihidupkan kembali melalui nilai-nilai kebenaran sejati yang termaktub dalam Kitab suci.

Taurat, Injil, dan Al-Quran mengandung nilai-nilai kebenaran universal sebagai sumber kecerdasan spiritual sejati bagi segenap umat manusia yang notabene adalah hamba dari Sang Tuan Sejati, Tuhan Yang Maha Esa.

Dari sini, umat manusia pada umumnya dan bangsa Indonesia pada khususnya harus kembali kepada satu-satunya Tuan Semesta Alam, Tuhan Yang Maha Esa.

Hanya Dialah Pusat kecerdasan spiritual bagi manusia untuk melandasi kecerdasan emosional dan intelektualnya dalam rangka menyelesaikan
segala permasalahan kehidupan sosial umat manusia.

Secara global, akar permasalahan dari rangkaian krisis multidimensi tersebut adalah keyakinan, akidah, atau ideologi manusia yang tidak mengenal Sang Pencipta alam semesta dengan benar.

Semua manusia yang hidup “beragama” dan “berbangsa” belum mengenal satu-satunya Tuan yang sejati, yakni Tuan Semesta Alam, Tuhan Yang Maha Esa (Allah, God, YHWH, atau sebutan lainnya dari berbagai bahasa di seluruh
penjuru bumi).

Dia adalah Tuan Yang Satu dan mempersatukan seluruh kehidupan di bumi. Akibat tidak mengenal Dia secara benar, maka manusia sebagai wakil-Nya di bumi tidak bisa hidup selaras dan bersinergi dengan kehendak dan rencana Tuan Semesta Alam.

Olehnya itu, manusia cenderung melakukan perbuatan-perbuatan yang sangat
dibenci oleh-Nya, yaitu hidup berpecah-belah dalam hukum, suku, agama, ras, dan masing-masing golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada dirinya.

Sementara itu, perintah Tuhan yang utama yang seharusnya dilakukan
oleh manusia, yaitu menegakkan sistem hidup dan kehidupan yang berlandaskan kepada hukum Tuhan di muka bumi, justru tidak dilakukannya.

Manusia lebih suka membuat hukum-hukum refleksi hawa nafsunya untuk
memerintah manusia lainnya. Padahal, hanya hukum Tuhan Yang Mahakuasa saja yang berhak mengatur manusia.

Lihatlah bagaimana para Rasul Allah yang diperintah oleh-Nya untuk menegakkan hukum Tuhan demi terciptanya kedamaian dan kesejahteraan hidup umat manusia.

C. Mengabdi Hanya Kepada Allah

Allah, Tuan Semesta Alam, Dialah yang telah mencipta seluruh makhluk di alam semesta. Setiap makhluk yang diciptakan-Nya itu terikat dengan fitrah kehidupannya.

Tiada satu pun ciptaan Tuhan di alam semesta yang tidak mempunyai fungsi dan peranan dalam siklus hidup dan kehidupan. Kehidupan antarmakhluk semesta saling tergantung dan terhubung dalam suatu tatanan universal.

Rangkaian intregasi antarmakhluk semesta ini berjalan secara kolektif dan sinergis pada lintasan yang benar menuju satu tujuan kehidupan, yakni kedamaian dan kesejahteraan alam semesta.

Manusia, sebagai salah satu bagian dari sekian banyak makhluk semesta, sejatinya juga terikat dan terkait dalam harmoni orkestra kehidupan untuk mencapai tujuan dan fitrah penciptaannya.

Manusia tidak bisa hidup bebas tanpa terikat aturan yang benar. Sebab jika demikian, niscaya umat manusia tidak akan pernah mampu mencapai kedamaian dan kesejahteraan hidup.

Sebaliknya, ia hanya akan menuju jurang kebinasaan, yakni tatanan kehidupan yang sarat akan perbudakan, permusuhan, dan peperangan yang hanya berujung kepada penindasan, ketidakadilan, dan kemiskinan. Itulah antitesis dari tujuan Tuhan menciptakan manusia yang sering disebut dalam Kitab suci dengan kehidupan neraka.

Setiap makhluk pada alam bergerak sesuai dengan orbit, tugas, dan fungsinya masing-masing. Mereka berjalan sesuai dengan perintah dan aturan yang telah Tuhan gariskan. Tidak ada satu pun hewan, tumbuhan, ataupun benda-benda langit yang menyimpang dari Jalan Kebenaran yang telah Dia undangkan atas makhluk-Nya.

Makhluk-makhluk itu telah tunduk dan patuh pada jalur pengabdian yang benar sehingga terciptalah keselarasan, kesetimbangan, keharmonisan, dan keteraturan pada tatanan alam, di bumi dan di langit.

Manusia, yang hidup di antara keduanya, sudah seharusnya berperilaku sama dengan makhluk lain yang ada di alam, yakni tunduk patuh kepada hukum Tuhan. Hanya saja, makhluk insan diberikan akal pikiran sehingga ia diberi kebebasan oleh Sang Pencipta untuk memilih jalan hidupnya.

Apa pun pilihannya, ia terikat dengan konsekuensi atas pilihannya itu.

Hanya ada dua jalan hidup yang bisa dipilih oleh manusia. Pertama, Jalan Kebenaran menuju kehidupan damai sejahtera. Dan kedua, Jalan Kesesatan yang mendorong manusia kepada kebinasaan.

Keduanya bersifat bioritmik, keberadaannya saling bergiliran sesuai dengan ruang, masa, dan waktu yang telah Tuhan tetapkan.

D. Peta Jalan Kebenaran

Ibarat seseorang yang akan menempuh suatu perjalanan, hal mendasar yang perlu disadari adalah bahwa ia terlebih dahulu harus memahami benar alamat tujuan dan rute perjalanan yang akan dilaluinya. Seseorang yang berangkat dari Kota A menuju Kota B, misalnya, ia harus mengerti benar lokasi dan deskripsi Kota B, rute perjalanan, dan sarana perjalanan.

Apabila ia tidak mengetahui arah perjalanannya, dapat dipastikan bahwa dirinya akan tersesat dan menyimpang dari tujuan awalnya.  Tentu saja, ia pun tak akan dapat menikmati apa yang telah dicita-citakannya di kota tujuan.

Untuk itu, suatu rencana perjalanan hendaknya disertai petunjuk atau peta perjalanan yang dapat digunakan untuk menuntunnya jalan demi jalan hingga sampai di tempat tujuan.

Demikian halnya dengan kehidupan jemaah umat manusia. Setiap diri ataupun kelompok manusia mesti mengetahui terminal akhir dari tujuan penciptaannya. Manusia harus bersungguh-sungguh dalam mencari jalan kebenaran agar ia bisa menggenapi fitrah dan tujuan hidupnya dan tidak akan tersesat dan sia-sia dalam menjalani kehidupan.

Umat manusia membutuhkan “peta imajiner” dari Tuhan Yang Maha Esa yang akan menunjukinya kepada jalan kebenaran (shirāthal mustaqīm) menuju kedamaian dan kesejahteraan hidup bersama.

Tanpa peta atau pedoman dari Sang Pencipta, niscaya manusia akan tersesat dan tidak akan sampai kepada hakikat penciptaan dirinya. Dari sini, manusia dituntut untuk mengerti dan memahami benar tujuan Tuhan menciptakannya, konsep Jalan Kebenaran, peta dan jalan-jalan menuju tujuan akhir.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, peta adalah gambar atau lukisan pada kertas dan sebagainya yang menunjukkan letak tanah, laut, sungai, gunung, dan sebagainya; representasi melalui gambar dari suatu daerah yang menyatakan sifat, seperti batas daerah, sifat permukaan; denah.

Pengertian jalan adalah (1) tempat untuk lalu lintas orang; (2) perlintasan (dari suatu tempat ke tempat lain); (3) yang dilalui atau dipakai untuk keluar masuk; (4) lintasan orbit. Sementara itu, definisi kebenaran adalah (1) keadaan (hal dan sebagainya) yang cocok dengan keadaan (hal) yang sesungguhnya; (2) sesuatu yang sungguh-sungguh (benar-benar) ada; (3) kelurusan hati; kejujuran; (4) izin; persetujuan; perkenan; (5) kebetulan.

Dari definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa “peta jalan kebenaran” adalah gambar atau tulisan dalam berbagai bentuk untuk merepresentasikan jalan atau lintasan yang sebenar-benarnya dan sunguh-sungguh sesuai keadaan untuk mencapai suatu tujuan tertentu.

Peta jalan kebenaran ini terdapat dua macam, yaitu peta fisik dan peta nonfisik. Peta fisik adalah bentuk visual yang bisa diakses dan diproses oleh mata untuk memberikannya petunjuk menuju lokasi tujuan suatu perjalanan.

Peta nonfisik adalah konsepsi atau rancangan yang ada dalam pikiran manusia yang bersifat teori sebagai pedoman dan penuntun dalam mencapai suatu tujuan tertentu. Peta fisik ataupun nonfisik memiliki petunjuk dan rambu-rambu yang harus diikuti dengan benar agar dapat mencapai lokasi tujuan.

Peta itu berfungsi sebagai pedoman perjalanan untuk mengetahui dan mengukur teori di atas kertas dengan kondisi sebenarnya di lapangan. Gambaran realitas ini dapat membawa seseorang tetap berjalan pada lintasannya, berbelok, atau bahkan berbalik arah menjauh dari tujuan.

Keberadaan peta ini bisa memastikan seseorang tetap (konsisten) dalam lintasan jalur yang benar sesuai dengan pilihan rute perjalanan yang akan dilaluinya. Tanpa sebuah peta, manusia tidak akan mengetahui di mana ia berada dan seberapa jauh perjalanan yang masih harus ia tempuh untuk sampai pada tujuan akhirnya.

Meski demikian, apabila seseorang salah dalam membaca peta perjalanan, ia tetap akan tersesat dan tidak sampai kepada tujuan akhir.

E. Jalan Kebenaran Menuju Kedamaian dan Kesejahteraan Global

Peta Jalan Kebenaran yang bersifat konsepsi ini terdapat pada Kitab suci dari masing-masing agama atau sistem keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Sang Pencipta pasti telah memberikan petunjuk dan pedoman bagi manusia agar ia dapat mencapai tujuan penciptaan dirinya. Kendati demikian, banyak di antara manusia yang tidak sudi membaca “Peta Jalan Kebenaran” dengan benar sehingga dirinya tidak mampu mencerna dan memaknai hakikat dari Jalan Kebenaran yang telah Dia hamparkan bagi umat manusia.

Kebanyakan manusia tidak mampu mengoptimalkan indra pendengar, indra penglihat, dan kecerdasan berpikirnya sehingga mereka terjebak pada Jalan Kesesatan yang berujung kepada kebodohan dan kebinasaan.

Peta Jalan Kebenaran yang selalu diminta oleh kebanyakan manusia termanifestasi dalam nilai dan hakikat dari tulisan Kitab suci. Jalan Kebenaran (shirāthal mustaqīm) adalah jalan hidup yang pernah ditempuh oleh orang-orang yang telah mendapat nikmat dan anugerah dari Sang Pencipta, bukan jalan orang-orang yang mendapat murka atau jalan orang tersesat.[1]

Orang-orang yang telah mendapatkan nikmat Allah itu adalah para Nabi, shiddīqīn, syuhadā, dan shālihīn.[2] Jalan Kebenaran adalah konsep dan laku perjuangan para Nabi dan Rasul Allah dalam menjalankan tugasnya membangun peradaban terang yang penuh kedamaian dan kesejahteraan bagi umat manusia.

Antitesis dari Jalan Kebenaran adalah Jalan Kesesatan yang pernah dilalui oleh musuh para Rasul Allah, yaitu orang-orang yang mengajak manusia menuju kepada kegelapan dan keterkutukan bangsa-bangsa di dunia. Kedua jalan ini akan selalu menjadi “peta” bagi generasi-generasi pelanjut yang akan terus bergumul sepanjang peradaban umat manusia.

Manusia dihadapkan pada pilihan, menggunakan “Peta Jalan Kebenaran” atau “Peta Jalan Kesesatan”. Keduanya akan memberikan arah yang tepat untuk menuju tujuan akhirnya masing-masing.

Jalan Kebenaran menjamin manusia mencapai hakikat penciptaan dirinya dan berakhir kepada kehidupan berkat, sedangkan Jalan Kesesatan memastikan manusia memperoleh laknat dari Sang Pencipta dan berakhir pada kehidupan kutuk.

Manusia dapat bebas memilih tetapi ia tidak bebas dari konsekuensi pilihan. Jika ingin menuju kepada kehidupan yang penuh kedamaian dan kesejahteraan, pakailah peta Jalan Kebenaran dari orang-orang yang telah berhasil membangkitkan peradaban yang diridhai-Nya.

Namun jika menghendaki model kehidupan penjajahan dan kebinasaan, gunakanlah peta Jalan Kesesatan seperti halnya jalan hidup Iblis, Firaun, Herodes, Abu Jahal, dan manusia terkutuk lainnya sepanjang sejarah peradaban umat manusia.

Kedamaian dan kesejahteraan adalah dua komponen vital yang menjadi isu sentral dari tujuan diutusnya para Rasul Allah ke muka bumi. Latar belakang dibangkitkannya Nabi dan Rasul-Nya adalah untuk menciptakan sistem kepemimpinan universal dalam menata peradaban umat manusia. Kisah ini sering kali diceritakan dalam Kitab suci, Taurat, Injil, dan Al Quran.

Muara atau terminal akhir dari perjalanan semua Utusan Allah adalah terwujudnya sistem hidup dan kehidupan yang mendamaisejahterakan umat manusia.

Manusia sebagai makhluk dua dimensi, yaitu fisik-materiel dan mental-spiritual, sangat membutuhkan makanan bathin agar hidup damai dan asupan zhahir agar hidup sejahtera.[3]

Esensi dari terwujudnya hidup damai sejahtera ini disimbolkan dalam ucapan salam dari berbagai kelompok agama, seperti Damai Sejahtera, Shalom, Om Swastyastu, Namo Buddhaya, Wei De Dong Tian, dan  Assalamualaikum.

Berangkat dari cita-cita bersama yang ideal tersebut, ironi dalam praktik hidup dan berkehidupan umat manusia hari ini justru terjadi model kehidupan yang sebaliknya. Kehidupan beragama, berbangsa, dan bernegara menjauh dari nilai-nilai kedamaian dan kesejahteraan umat manusia.

Dewasa ini, konflik lintas agama, antarsuku bangsa, dan antarnegara lebih dominan menghiasi dinamika peradaban. Tentu saja, kondisi krisis multidimensi ini harus dicari akar masalahnya agar bisa diurai dan dipecahkan sebagai jalan keluar menuju kehidupan surgawi, suatu bentuk kehidupan yang lebih baik.

Kebanyakan manusia keliru dalam mempersepsikan atau menafsirkan makna agama. Mereka mengartikan agama sebagai tata ritual penyembahan semata, padahal Allah mencipta manusia untuk mengabdi kepada-Nya.

Pemaknaan mengabdi menjadi hanya sebatas menyembah kepada Sang Pencipta turut melahirkan model kehidupan sekuler yang jauh dari kebenaran. Sekularitas antara kehidupan beragama dan kehidupan bernegara ini sangat berbahaya karena menganggap Allah cukup hanya disembah di tempat ibadah, sementara perintah dan larangan (hukum)-Nya tidak ditaati dalam keseharian manusia.[4]

Sikap mereka yang demikian itu seolah-olah ingin menegaskan bahwa ada dua tuan dalam kehidupannya, yaitu tuan yang di langit dan tuan yang di bumi. Padahal, semua Nabi dan Rasul Allah mengajarkan bahwa hanya satu tuan yang layak untuk diabdi, Dialah Tuan Semesta Alam. Manusia tidak boleh mengabdi kepada dua tuan, Allah dan Mamon.[5]

Semua Nabi dan Rasul Allah membawa din yang sama. Tidak ada satu pun dari mereka yang membawa agama yang berbeda-beda, kecuali Dinul Haq (sistem kehidupan yang benar dari Allah).[6]

Tidak ada perubahan di dalam Din Allah yang dengannya Dia mencipta manusia berdasarkan fitrah itu. Semua Rasul Allah telah tunduk patuh (bahasa Arab: aslama) terhadap sistem hidup dan kehidupan yang Dia ciptakan, yaitu Din (hukum) Allah.

Dengan demikian dapat dikatakan, din bukanlah agama. Din adalah sistem hidup dan kehidupan bagi umat manusia. Sistem hidup adalah sistem yang mengatur hidup manusia secara personal, sedangkan sistem kehidupan adalah sistem yang mengatur kehidupan komunal.

Beberapa firman Allah dalam Al-Quran memberikan korespondensi terkait kesamaan sistem hidup dan estafeta para Rasul Allah dalam mengemban misi jalan kebenaran pada ruang dan waktunya masing-masing.[7]

Dari konfirmasi dan koherensi firman Allah sangatlah jelas bahwa sistem hidup dan kehidupan yang dibawa oleh para Rasul Allah adalah sama, identik, dan sebangun.

Tidak ada perbedaan antara sistem hidup dan kehidupan yang dibawa oleh para Rasul dalam mewujudkan kedamaian dan kesejahteraan hidup umat manusia di muka bumi. Para Rasul Allah itu bak seorang aktor yang melakoni skenario besar dari Sang Sutradara, Tuan Semesta Alam, dalam satuan ruang dan lini masa yang berbeda-beda.

Sistem hidup dan kehidupan yang Allah ciptakan tidaklah bersifat evolutif sebagaimana pengertian agama menurut para penganutnya. Truth claim atau klaim kebenaran sepihak kaum agamais yang menyatakan bahwa satu agama lebih sempurna daripada agama lainnya justru menciptakan jurang pemisah atau perpecahan umat manusia.

Rupa dan karakter manusia sejatinya adalah sama sejak zaman asali dan karenanya ia membutuhkan sistem hidup yang universal, sama dan tidak pernah berubah. Sistem itulah yang diperjuangkan oleh para Nabi dan Rasul Allah melalui Jalan Kebenaran (shirāthal mustaqīm) untuk mewujudkan kehidupan yang damai dan sejahtera, rahmat bagi alam semesta, kehidupan khilafah di muka bumi.

Konsep universal itulah yang dijadikan Abraham/Ibrahim sebagai pedoman dalam menapaki jalan kebenaran sejati. Jalan Abraham (2100 SM) itu pula yang dahulu dilalui oleh generasi setelahnya, baik Bani Israel di zaman Musa (1400 SM), Isa atau Yesus (1 M), dan Bani Ismail di zaman Rasulullah Muhammad (609 M).

Jalan kebenaran, millah Abraham, merupakan konsep untuk menciptakan keseimbangan hidup secara lahir dan batin. Itulah mengapa jalan hidup Abraham/Ibrahim diabadikan dalam Kitab suci Al-Quran sebagai Jalan Kebenaran (shirāthal mustaqīm) yang Allah tunjukkan kepada hamba-hamba-Nya.[8]

Jalan hidup Abraham/Ibrahim sebagai konsep Jalan Kebenaran Universal dimanifestasikan dalam penegakan hukum Allah bagi peradaban umat manusia. Ajaran Abraham sangat menghargai aqidah manusia, ia tidak pernah memaksakan aqidah secara personal kepada manusia lainnya.

Keberimanan seseorang adalah hak prerogatif Sang Pencipta. Abraham–dan para Rasul Allah, hanya mengajak manusia untuk bertobat dan kembali menegakkan sistem hidup dan kehidupan yang satu, yaitu tegaknya hukum Allah di muka bumi demi terwujudnya kehidupan surgawi, kedamaian dan kesejahteraan umat manusia.

Kondisi Berkat inilah yang dahulu pernah terwujud melalui misi Rasulullah Musa dan Bani Israel–dengan The Ten Commandments-nya, dalam membangun Yerusalem (Negeri Damai Sejahtera).

Selaras dengan sunnatullah kehidupan, pergiliran antara peradaban malam dan siang, Bani Israel mengurai tali perjanjian dengan Allah yang dahulu diikatnya di hadapan Musa.

Akibat pengkhianatannya itu, Bani Israel kembali hidup di bawah kondisi kutuk dan jajahan kerajaan bangsa-bangsa. Untuk mengikat kembali atau memperbarui perjanjian yang lama antara Allah dan Bani Israel, Tuan Semesta Alam mengutus Yesus Kristus agar ia menggenapi hukum Taurat di Yerusalem pada 14 abad setelahnya. Itulah esensi adanya Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru.

Demikian pula selanjutnya, ketika hukum Tuhan tidak lagi eksis di muka bumi sepeninggal Kerajaan Allah yang dibangun Yesus, maka dunia kembali memasuki era kegelapan (jahiliyah) yang ditandai kerusakan tatanan sosial dan alam.

Untuk menata peradaban dan menciptakan kembali perdamaian dunia, maka diutuslah Rasulullah Muhammad ke tengah-tengah bangsa Arab untuk membangun Darussalam (Negeri Damai Sejahtera).[9]

Dengan tegaknya Kerajaan atau Khilafah Allah yang dibangun Rasulullah Muhammad, maka Terang Allah menyelimuti dunia, peradaban manusia saat itu dipenuhi kemajuan sains dan teknologi dalam segala aspek kehidupannya.

Roda peradaban terus bergulir. Tatkala umat manusia  meninggalkan Allah dengan mengabaikan hukum-hukum-Nya, maka dunia kembali terjerembap ke dalam peradaban gelap yang penuh kekacauan dan keterkutukan.

Krisis multidimensi di setiap penjuru dunia kembali tejadi karena tidak adanya distribusi keadilan, kedamaian, dan kesejahteraan yang merata bagi bangsa-bangsa di dunia.

Untuk keluar daripadanya dan kembali hidup dalam naungan kasih Allah, maka umat manusia harus menempuh satu-satunya jalan menuju Darussalam, yaitu dengan melaksanakan protokol sunnah para Rasul Allah dalam menggenapi sunnatullah.

Protokol itu memuat metodologi untuk mengembalikan kehidupan dunia menjadi damai dan sejahtera dengan cara meneladan cara hidup Rasul Allah sebagai solusi atas permasalahan global.

Demikianlah sunnatullah pergiliran peradaban antara hukum Allah dan hukum bangsa-bangsa, peradaban ilahi dan non-ilahi, peradaban madinah dan jahiliyah, yang selalu dipergilirkan oleh Sang Pencipta di sepanjang zaman sebagaimana pergantian siang dan malam.

Yang demikian itu sudah menjadi ketetapan dan kepastian Allah yang tidak pernah berubah dan berganti. Setiap peradaban memiliki umur atau masanya masing-masing, satu masa ia dilahirkan dan sau masa lainnya ia dimatikan.[10]

Inilah yang menjadi landasan keilmuan dalam membangun keyakinan generasi Millah Abraham untuk berjuang menegakkan sistem hidup dan kehidupan yang dibawa oleh setiap Rasul Allah. Mengabdi yang benar adalah melaksanakan segala sesuatu berdasarkan petunjuk dari Sang Pencipta.

Pedoman dan panduan menjalani sunnatullah dan sunnah rasul terekam dalam kisah para Rasul yang diabadikan dalam Kitab suci baik Taurat, Injil, maupun Al-Quran. Kebenaran firman inilah yang akan menjadi pelita dan panglima dalam menapaktilasi protokol membangun manusia paripurna dan menjadi hamba-hamba yang diridhai-Nya.

Iman dan amal saleh yang benar akan mengantarkan manusia dan bangsa Nusantara menjadi bangsa percontohan dunia, bangsa yang tunduk patuh kepada hukum-Nya, dan menjadi hakim dalam upaya mewujudkan perdamaian dunia.

Itulah nilai-nilai kebenaran sejati yang tertuang di dalam Kitab suci yang bermuara pada konsepsi Millah Abraham sebagai Jalan Kebenaran dan misi para Rasul Allah untuk mewujudkan kehidupan damai dan sejahtera di muka bumi.

Sebagai manusia, kita harus sadar benar bahwa tujuan Sang Pencipta mengirim “pesan ilahi” dalam kitab suci adalah dalam rangka membangun peradaban yang penuh damai, kasih sayang, dan kesejahteraan bagi umat manusia.

Naskah Kitab suci merupakan bukti atau fakta tentang kemenangan perjuangan para Rasul Allah dalam menegakkan sistem hidup dan kehidupan yang benar di muka bumi.

Tantangan dan rintangan dalam memberikan “kabar gembira” dan “peringatan” bagi manusia lainnya sudah menjadi hal yang lumrah dalam perjalanan menegakkan risalah Allah. Tidak mudah bagi manusia untuk masuk ke dalam Kerajaan Allah yang penuh dengan kedamaian dan kesejahteraan.

Dibutuhkan konsistensi dari sekelompok manusia yang telah memilih “Peta Jalan Kebenaran” sebagai konsep perjalanan yang akan ditempuh dalam mencapai tujuan kehidupannya. Peta konseptual ini akan menjadi penunjuk, penuntun, dan pembenar bagi orang-orang yang berjalan agar mereka tetap berada pada jalur yang benar.

Kesabaran, keuletan, kegigihan, dan keikhlasan dalam mengoptimalkan segala sumber daya kelompok untuk menjalani setiap etape dan ujian menjadi kunci kemenangan bagi para peniti Jalan Kebenaran ini.

Dengannya, komunitas atau jemaah yang merdeka itu akan sampai kepada tujuan dan cita-cita bersama dalam membangun peradaban baru yang penuh kedamaian dan kesejahteraan.

Sang Pencipta Yang mencipta dirinya pasti ridha atas jalan hidup yang ditempuh sesuai dengan peta-imajiner yang telah diajarkan-Nya melalui para Manusia Utusan. Itulah prophetic voice and action, jalan atau misi para Rasul Allah dalam mewujudkan kedamaian dan kesejahteraan di muka bumi.

F. Penutup

Komitmen dan konsistensi iman dalam pemikiran, perkataan, dan perbuatan (amal saleh) akan menjadi batu ujian dalam melahirkan manusia-manusia baru yang berkarakter mulia, karakter yang sesuai dengan potret atau gambar Sang Pencipta sehingga ia layak dan pantas menjadi wakil-Nya di muka bumi.

Sunnatullah (tradisi Allah) dan Sunnah Rasul (tradisi Rasul) adalah suatu kepastian dan jaminan kesuksesan untuk mewujudkan tata kehidupan yang damai dan seimbang baik dalam skala personal, keluarga, komunitas, masyarakat, negara-bangsa, regional, dan global.

Itulah nilai-nilai esensial yang melekat pada diri Rasul Allah dalam tugasnya untuk menyempurnakan akhlak manusia, menegakkan sistem hukum-Nya, dan menjadi rahmatan lil ‘ālamīn, rahmat bagi sesama manusia dan alam semesta.[1]

Semoga para pembaca, hamba dari Tuhan Yang Maha Esa, dapat memahami dan memaknai Peta Jalan Kebenaran hidup dan kehidupan ini. Sebagai hamba dari Sang Tuan Pencipta Alam, sudah semestinya kita selalu mencari jalan kebenaran untuk mencapai tujuan hidup yang benar.

Keyakinan tidak bisa dipaksakan, tetapi bukan berarti tidak bisa dikomunikasikan demi mencari titik terang peradaban. Dialog lintas iman dengan landasan akal sehat (rasional), dalil (normatif), sejarah (historis) dan argumen nan bijaksana sangat dibutuhkan untuk mencari titik temu, bukan titik seteru, sehingga mampu menjalin tali persaudaraan antarumat manusia dalam menciptakan kedamaian dan kesejahteraan global.

[1] Al-Quran surat Al-Fātihah [1] ayat 6–7.
[2] Al-Quran surat. An-Nisā` [4] ayat 68–69.
[3] Al-Quran surat Luqmān [31] ayat 20.
[4] Al-Quran surat An-Nisā` [4] ayat 60.
[5] PB Matius 6 ayat 24; Lukas 16 ayat 13.
[6] Al-Quran surat At-Taubah [9] ayat 33; Al-Fath [48] ayat 28; Ash-Shāff [61] ayat 9.
[7] Al-Quran surat Asy-Syūrā [42] ayat 13; Āli ‘Imrān [3] ayat 84; Ar-Rūm [30] ayat 30–32. 
[8] Al-Quran surat Al-An‘ām [6] ayat 161; An-Nahl [16] ayat 123; Āli ‘Imrān [3] ayat 95; Al-Baqarah [2] ayat 130; An-Nisā` [4] ayat 125. 
[9] Al-Quran surat Yūnus [10] ayat 25.
[10] Al-Quran surat Al-A‘rāf [7] ayat 34; Āli ‘Imrān [3] ayat 26–27; Al-Fath [48] ayat 23.

Berita Populer

Artikel Populer

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Jangan Sampai Kelewatan update tips terbaru
dari edy sugianto

Untuk mendapatkan update tips menjadi internet marketer yang berpenghasilan terbaru, langsung daftarkan email anda. tidak dipungut biaya :

shares

GRATIS VIDEO BISNIS ONLINE

Masukan Email dan Nama Anda